Selasa, 05 Oktober 2021

Berpikir Positif




Berpikir Positif

By tundjung

Tidak butuh surat keterangan sehat untuk jatuh cinta. Kamu hanya butuh hati untuk menempatkan rasa.

Masih ingat itu quote dari mana? Bagi yang masih ingat berarti kalian ngefans sama Cahaya dan Satria. Novelku Cinta dalam Gelap Cahaya lahir dari pengalaman menghadapi pasien HIV anak. Meski penulisan novel itu sudah rampung, tapi kisah tentang pasien HIV anak masih terus berlanjut. 

Sebut saja namanya Dendrobium. Maaf ya nggak pakai nama Bunga, Mawar atau Melati karena mirip dengan nama korban pelecehan. Aku nggak suka. 

Dia datang saat berusia 5 tahun dengan diare selama 6 bulan.  

"Ibu siapa?" tanyaku ke pengantar. 

"Saya ibu sambungnya."

"Oh, ibu kandungnya ke mana?" 

"Sudah meninggal, Dok."

"Meninggal karena apa?" tanya saya hati-hati. Kalau bukan di poli tentu aku tidak akan bertanya sekepo itu. 

"Karena sakit-sakitan, keluar masuk rumah sakit."

Aku makin curiga pada dugaan HIV. Jadi aku ingin ketemu dengan bapak kandung si anak.

"Betul, Dok. Istri saya meninggal karena HIV. Anak saya juga sudah terdiagnosis saat dia berusia 2 tahun."

"Kenapa saat itu tidak langsung diobati, Pak?"

"Ya itu, Dok. Saya berpikir positif bahwa anak saya akan baik-baik saja. Berharap dengan berpikir positif dia tidak sakit."  

Aku cuma diam mengela napas, menahan diri. Rasanya ingin bertanya pada si bapak,"itukah caramu berpikir positif?"

Tapi kok malah mirip-mirip adegan sepasang kekasih di sinetron. Batal lah. 

"Ya sudah, sekarang diobati saja, ya? kasihan anaknya masa 5 tahun beratnya cuma 12 kilo!"

Ini bukan body shaming lho ya. Secara kasar aku tuh pengin ngomong gini: "Lha anakmu kurus kek gitu apa ya tetap ngotot dengan cukup berpikir positif dia bisa gemuk?"

Obat ARV pun segera masuk dan Alhamdulillah respon anak ini sangat baik. Beratnya terakhir waktu kontrol sudah 21 kilo. 

Lain lagi cerita satunya. kali ini namanya Aglonema.

Usianya 2 tahun saat terdiagnosis HIV. Dia dites karena Ayahnya meninggal positif HIV. Ibunya juga positif.

Ibu dan anak pun rutin meminum ARV. Saat Aglo berusia 5 tahun, si ibu akhirnya meninggal juga. Dia kemudian diasuh bibinya. Dari sinilah drama itu dimulai.

"Nggak, Dok. Ponakan saya ini cuma sakit flek. Dia tidak sakit HIV," kata si bibi. 

"Bu, dia itu positif HIV. Sudah berobat HIV sejak usianya 2 tahun."

"Nggak, Dok. Dia cuma sakit flek. Tidak ada yang memberitahu saya bahwa dia sakit HIV. Dokter mungkin keliru."

Aku praktis memanggil tim HIV soal edukasi pada si bulik. Nggak terima juga dibilang keliru. (Sesekali metu arogansi)

"Sudah, Dok. Buliknya ini sudah diberitahu bahwa keponakannya itu positif. Pertama oleh tim HIV. Kedua oleh dokter satunya,"kata tim HIV.

Si Bulik terus ngeyel. Minta ulang pemeriksaan. Kami ulang, hasil positif. Dan Si Bulik tetap menolak kenyataan. Entah apa yang beliau pikirkan. 

Aglonema pun tidak kontrol lagi. Drop out terapi karena si Bulik ngotot.

Aku cuma bisa berdoa agar Aglonema ini baik-baik saja. Secara teori dia akan mengalami perjalanan penyakit seperti Dendrobium. Pada akhirnya virus makin banyak dan kondisi menurun.

Bedanya, kalau Aglo diberi ARV yang sama bisa jadi virus sudah kebal.

Dan aku pun hanya bisa berpikir positif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar