Selasa, 25 Juli 2023

Permintaan Bahu

Permintaan Bahu

By tundjung

"Menikah denganku, harus siap jadi yang kedua. Istri pertamaku adalah melayani umat."

Itu kalimat pertamamu setelah ijab kabul. Selepas aku mencium punggung tangan kananmu. Ciuman pertamaku.

Aku maklum. Sejak muda kau sudah terbiasa ceramah di mana-mana. Ilmumu memang mumpuni. Sangat sayang bila tidak kau bagi.

"Jangan menangis. Aku pergi bukan untuk bersenang-senang. Bukankah saat menikah, kau sudah siap dengan semua ini?"

Itu hari ketiga paska melahirkan. Aku masih ingin ditemani. Tapi kau tetap pergi keluar kota. Ada undangan ceramah.

"Hai, kau masih cuci baju pakai tangan? Hahaha, sama dong."

Meli teman SMA berkunjung. Anaknya juga baru satu. Tetapi sudah berusia 2 tahun.

"Suamiku kadang bantu cuci. Tapi ya itu, rendaman cuma diinjek-injek. Nggak dikucek sama sekali," cerita Meli sambil menghalau anaknya agar tidak menganggu bayiku.

Aku cuma tersenyum kecut. Mas Rusli membantu nyuci? Hmm ....

"Kau tidak minta mesin cuci? Suamimu ceramah di mana-mana pasti banyak duit, dong."

Sekali lagi aku tersenyum kecut. Mas Rusdi memang hampir selalu memberikan uang hasil ceramah ke aku. Tapi jujur saja, jumlahnya tidak pasti.

Jamaah kadang hanya memberi fasilitas antar jemput. Kadang bingkisan. Kadang amplop. Apapun itu, kusyukuri.

"Dik, ada jamaah butuh uang. Dia terjebak rentenir. Uang yang kemarin, buat dia dulu, ya?"

Aku tak kuasa menolak. Meski kadang sebenarnya aku butuh.

"Ikhlaskan, nanti Alloh akan mengganti dengan yang lebih baik."

Kalau Mas Rusdi sudah bilang begitu, aku tak berani membantah sama sekali.

"Memang banyak jalan menuju surga. Tapi surga seorang istri itu gampang. Cukup ridho suami."

Ah, kalau sudah ngomong begitu pintu membantah terkunci sudah. Aku hanya mencoba meraih ridho suami dalam diam.

"Suamiku juga suka pura-pura bantuin nyetrika. Dia bilang kasian ma aku, jadi minta bajunya nggak usah disetrika. Nyatanya? Dia pakai baju tanpa diseterika! Mentang-mentang kerjaannya jualan bakso, penampilan sembarangan!"

Meli masih menyerocos. Dan tanpa sadar, aku kembali membandingkan.

"Dik, tolong setrikain lagi. Kurang rapi, nih!"

Sambil menyetrika aku menggendong bayi kami. Mas Rusdi? Dia sibuk membaca kitab untuk persiapan ceramah.

"Aku harus belajar untuk persiapan ceramah. Jangan kau ganggu."

Astagfirullah. Aku mengibaskan tangan, menghalau semua bayangan perbandingan itu.

Mas Rusdi tidak pernah kasar. Dia juga tidak melanggar aturan agama. Mengapa aku sibuk mengeluh?

Aku hanya bisa mengadu di sepertiga malam.

"Alloh, maafkan aku. Doaku sepeleeee ... sekali. Tolong buat mas Rusdi lebih mengerti aku. Tolong ya Alloh?"

"Satu lagi ya Alloh. Jangan bocorin isi doa ini ke siapapun. Soalnya ada orang yang jengkel dengar doa macam ini. Katanya aku mendikte-Mu."

Aku sudah hamil lagi sekarang. Si sulung sudah tiga tahun.

Dan hariku masih seperti dulu. Mencuci manual. Mengerjakan urusan rumah sendirian. Serta tetap membagi rezeki dengan para jamaah Mas Rusdi.

"Dik, Alhamdulillah ada rezeki lebih. Ada uang cash satu juta. Kamu mau minta apa saja boleh. Asal harganya nggak lebih dari itu."

Aku memandang Mas Rusdi. Hampir lima tahun usia pernikahan, nggak pernah nawarin aku seperti ini.

"Beneran?"

"Iya."

"Apapun?"

"Apapun. Mau barang dapur, pergi ke mana, terserah kamu."

Aku masih terus memandang suamiku.

"Terserah aku? Dan apapun?"

"Iya. Tapi cuma satu juta, ya?"

Satu
Dua
Tiga
.
.
Lima belas detik berlalu. Untuk mengumpulkan keberanian mengutarakan keinginanku.

"Mas, bolehkah aku menangis di bahumu?"

***
100 persen fiktif ya gaes ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar